Pentingnya Pengembangan Wisata Kota Sebagai Pariwisata Masa Depan Indinesia

PENGEMBANGAN WISATA KOTA SEBAGAI PARIWISATA MASA DEPAN INDONESIA

ABSTRAK
Mengembangkan pariwisata di perkotaan adalah usaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak hotel dan restoran, dan sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi di perkotaan. Pengembangan pariwisata apapun jenis dan namanya memerlukan fungsi pengelolaan yang kreatif dan inovatif berdasarkan atas perencanaan yang matang, pelaksanaan yang konsisten, dan evaluasi yang terukur dan konstruktif. Pembangunan wisata kota adalah pembangunan yang terintegrasi dan holistik yang akan mewujudkan kepuasan semua pihak. Perlunya integrasi aspek-aspek terkait yang terdiri dari: (1)Aspek daya tarik destinasi; merupakan atribut daerah tujuan wisata yang berupa apasaja yang dapat menarik  wisatawan dan setiap destinasi pasti memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya. (2)Aspek transportasi atau sering disebut aksesibilitas; merupakan atribut akses bagi wisatawan domestik dan mancanegara agar dengan mudah dapat mencapai tujuan ke tempat wisata baik secara internatsional maupun akses terhadap tempat-tempat wisata pada sebuah destinasi. (3)Aspek fasilitas utama dan pendukung; merupakan atribut amenitas yang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama pada sebuah destinasi. (4)Aspek kelembagaan; atribut sumberdaya manusia, sistem, dan kelembagaannya berupa lembaga pariwisata yang akan mendukung sebuah destinasi layak untuk dikunjungi, aspek kelembagaan tersebut dapat berupa dukungan lembaga keamanan, lembaga pariwisata sebagai pengelola destinasi, dan lembaga pendukung lainnya yang dapat menciptakan kenyamanan wisatawan. Kota sebagai pusat bisnis merupakancentrum dari akvitas malam para wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sehingga perlu pengelolaan dan penataan. (1) Penataan Sentra bisnis masyarakat lokal yang mestinya dapat digalakkan adalah sebagai berikut: Pasar Malam tradisional yang menjual segala bentuk cinderamata khas sebuah kota, makanan tradisional, pagelaran seni tari tradisional, Spa terapi, fisioterapi untuk penghilang lelah para wisatawan sehabis tour. (2) Penataan penginapan, hotel, dan sejenisnya mestinya dapat diarahkan pada pada area sub urban atau pinggiran kota untuk mengurangi kekroditan kota. (3) Penataan daerah atraksi wisata baik yanggiven/alamiah maupun man-made/buatan dapat diarahkan pada kawasan rural ataucountryside.

Kata Kunci: wisata kota, wisatawan, aktivitas, atribut wisata


  1. 1.      PENDAHULUAN
Pengembangan Kota Wisata akan menjadi propek yang menjanjikan dimasa yang akan datang untuk dikembangkan di Indonesia dengan berbagai alasan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun non ilmiah. Kecenderungan bahwa kota cenderung menjadi pusat perhatian pembangunan termasuk juga pembangunan sektor pariwisata. Kecenderungan tersebut dilatarbelakangi oleh  faktor sosial demografi penduduk kota jauh lebih mudah menerima isu-isu terkini yang terkait modernisasi dan pemberdayaan ekonomi karena memang kaum terpelajar lebih  dominan berada di daerah perkotaan. Sementara jika dilihat dari trend pertumbuhan wilayah, ada kecenderungan jumlah kota semakin meningkat dari masa ke masa, namun perdesaan semakin menyempit karena arus modernisasi dan konversi perdesaan menjadi daerah perkotaan baru.
Laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson tahun 2006 menjelaskan bahwa telah terjadi pertumbuhan penduduk perkotaan di dunia dengan sangat berarti sejak tahun 2000an, yakni  41% dari penduduk dunia tinggal di perkotaan, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Laporan terakhir dariWorld Bank menjelaskan bahwa perkembangan jumlah penduduk perkotaan relatif tinggi, dan bahkan diprediksi pada tahun 2050, terdapat 85% penduduk dunia akan hidup di daerah perkotaan.
Jika di lihat kondisi di Indonesia, pada tahun 1980 persentase jumlah penduduk kota di Indonesia adalah 27,29% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Pada tahun 1990 persentase tersebut bertambah menjadi 30,93%. Diperkirakan pada tahun 2020 persentase jurnlah penduduk kota di Indonesia mencapai 50% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia (Nawir, 2008).  Persentase kecenderungan bertambahnya wilayah dan jumlah kota adalah prediksi yang sangat menarik bagi pengembangan wisata kota di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk Indonesia 2010 usia muda lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Artinya perencanaan  wisata kota Indonesia adalah persembahan untuk generasi di masa mendatang yang mestinya sudah direncanakan mulai saat ini untuk meminimalkan dampak negatif di masa mendatang. Dari paparan empiris tersebut di atas, pengembangan wisata kota nyaris di seluruh dunia akan menjadi trend yang relatif penting untuk direncanakan dalam tujuan pemberdayaan masyarakat.


  1. 2.      TINJAUAN UMUM KONSEP  WISATA KOTA

2.1  Kota dan Sumberdaya
Beberapa unsur  pendukung  pariwisata justru lebih tersedia jika dibandingkan dengan unsur pendukung pariwisata di perdesaan, misalnya unsur aksesibiltas, di mana bandara, infrastruktur jalan raya, fasilitas publik lebih banyak temukan lebih baik daripada daerah perdesaan. Sementara jika dilihat dari unsur atraksi atau daya tarik, hampir sebagaian besar objek dan atraksi wisata berada di daerah perkotaan. Lalu jika dilihat dari unsur amenitas, sangat jarang seorang pebisnis atau investor mau membangun hotel atau restoran di daerrah perdesaan. Dan pada akhirnya jika dilihat dari unsur ensileri atau kelembagaan kepariwisataan, nyaris sebagaian besar berpusat di daerah perkotaan.
Berikut Sumberdaya yang melekat pada sebuah kota yang dapat dikemas menjadi daya tarik wisata, yakni: (1) Balai Kota: hampir setiap kota memiliki Balai Kota yang sengaja dibangun untuk di gunakan sebagai jantung pemerintahan kota. Bangunan ini biasanya dibangun dengan arsitektur yang sangat indahnya dan memiliki karakteristik tertentu sesuai ciri khas sebuah kota. (2) Kawasan Jalan tertentu yang biasanya memiliki mitologi tertentu seperti horor, nostalgia, historis, heroik, dan sebagainya yang biasanya melekat dan menjadi ciri khas tersendiri bagi setiap kota. (3) Monumen Kota, yang memiliki pesan edukasi historis atau sosial atau religius yang biasanya juga dimiliki oleh kota-kota di Indonesia. (4) Kuliner juga menjadi daya tarik tersendiri yang dapat dikemas oleh setiap kota di Indoonesia untuk menjadi daya tarik wisata yang menarik. (5) Kampus atau Universitas yang memang dirancang dan citrakan sebagai aset kota yang dapat dijadikan daya tarik wisata edukasi, dan ciri ini juga dimiliki hampir sebagian besar kota-kota di Indonesia. (6) Mall atau Pusat perbelanjaan atau Pasar Tradisional juga menjadi ciri khas bagi setiap kota dan akan menjadi daya tarik yang amat penting untuk dikemas menjadi daya tarik wisata kota. (7) Alun-alun dan Taman Kota adalah ruang terbuka yang biasanya menjadi daya tarik wisata kota dan juga melekat pada identitas sebuah kota. (8) Museum Kota juga dimiliki sebagian besar kota-kota didunia yang biasanya dikelola sebagai bagian dari wujud pelestarian terhadap benda-benda purbakala warisan sebuah kota yang mungkin bernilai mitos, atau warisan budaya. (9) Pasar Malam juga menjadi ciri khas sebuah kota dan pasar malam merupakan denyut jantung perekonomian sebuah kota, dan jika dapat dikelola secara profesional akan dapat menjadi daya tarik wisata kota. Dan banyak lagi potensi daya tarik wisata kota yang dapat dikembangkan seperti misalnya taman rekreasi dan sebagainya mengikuti kreatifitas dan daya inovasi pemerintah kota setempat.
Pengembangan Wisata Kota akan menjadi trend menarik dimasa depan berdasarkan banyak alasan yang rasional, namun demikian potensi yang bagus akan lebih berhasil jika dapat dikembangkan dan dikelola dengan manajemen kota yang terintegrasi dalam konsep totalitas produk  wisata yang saling terkait dengan yang lainnya. Minimal ada empat unsur yang harus diintegrasikan yakni unsur atraksi atau daya tarik wisata, unsur amenitas atau infrastruktur dan fasilitas pendukung, unsur aksesibilitas berupa publik transportasi yang baik, manajemen transportasi yang efesien dan efektif. Dan integrasi yang tidak kalah pentingnya adalah unsur ensileri yang merupakan softkills dari totalitas produk wisata kota sebagai pengendali, pengeoperasi, dan evaluator yang menerapkan etika pembangunan yang berkelanjutan. Unsur ensilari dapat dibentuk dalam sebuah badan khusus atau komite atau apalah namanya yang penting ada yang merencanakan, ada yang menjalankan, dan harus ada yang mengontrolnya agar apa yang diharapkan dari pengembangan wisata kota dapat berhasil dan bijak dalam pengelolaannya.

2.2  Motivasi Berwisata
Kata motivasi berasal dari kata ”motive” yang berarti menyebabkan seseorang  melakukan sesuatu dengan cara tertentu; atau merangsang keinginan. Lebih jauh, Abraham Maslow membuat model hierarki motivasi yang lebih dikenal dengan teori Motivasi Maslow.  Teori Maslow pada awalnya merupakan teori dasar psikologi yang mengasumsikan bahwa orang akan berusaha memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu, secara fisiologis sebelum mengarahkan perilaku memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi berupa perwujudan diri. Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi seperti perwujudan diri mulai mengembalikan perilaku seseorang. Apabila seseorang memutuskan bahwa ia menerima uang yang cukup untuk pekerjaan dari organisasi tempat ia bekerja, maka uang tidak mempunyai daya intensitasnya lagi. Jika suatu kebutuhan mencapai puncaknya, kebutuhan itu akan berhenti menjadi motivasi utama dari perilaku. Kemudian kebutuhan kedua mendominasi, tetapi walaupun kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan itu masih mempengaruhi perilaku hanya intensitasnya yang lebih kecil.
Dalam hubungannya dengan pariwisata, McIntosh dan Goeldner (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:52) membedakan motivasi wisatawan menjadi empat kategori motivasi, yaitu:
1)        Motivasi fisik, yaitu motivasi yang berkaitan dengan aktifitas fisik, misalnya olah raga, rekreasi pantai, hiburan yang menyegarkan, dan motivasi lainnya yang secara langsung berhubungan dengan kesehatan.
2)        Motivasi budaya, yaitu motivasi yang dapat diidentifikasikan melalui hasrat untuk mengetahui tentang suatu daerah, musik, seni, cerita rakyat, tarian, lukisan, maupun agama mereka.
3)        Motivasi interpersonal, motivasi yang berkaitan dengan hasrat untuk menemui orang baru, mengunjungi teman atau keluarga, menjauhkan diri dari rutinitas atau mencari pengalaman baru yang berbeda.
4)        Motivasi prestise dan status, yaitu motivasi yang berkaitan dengan kebutuhan ego dan pengembangan pribadi, misalnya perjalanan untuk bisnis konvensi, studi, dan yang berkaitan dengan hobi dan pendidikan. Keinginan atas penghargaan perhatian, pengetahuan dan reputasi yang baik dapat dipenuhi selama perjalanan.
Pada umumnya manusia menginginkan adanya keseimbangan dalam hidupnya. Secara psikologis, dapat dijelaskan bahwa kebutuhan manusia terhadap keseimbangan dalam kehidupannya tercermin pada usaha menyeimbangkan, misalnya antara kerja dan istirahat, melek dan tidur, bergerak dan santai, pendapatan dan pengeluaran, kerja dan keluarga, kebebasan dan ketergantungan, kebutuhan sosial, maupun resiko dan keamanan,  Manusia cenderung ingin meninggalkan rutinitas disela-sela kehidupannya dengan melakukan perjalanan wisata  untuk menyegarkan tubuh dan jiwa, memberikan vitalitas, dan memberikan arti baru pada kehidupan (Krippendorf, 1987:47). Berdasarkan teori Maslow, perjalanan wisata dapat dimotivasi oleh motif untuk meningkatkan kesehatan seperti wellness tourismmedical tourism, dan sejenisnya. Perjalanan wisata juga dapat digerakkan oleh kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan penghargaan, hingga kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Huang dan Hsu (2008: 267-287), melihat  ada kebutuhan manusia belum termasuk dalam lima hirarki tersebut yakni kebutuhan berkesenian, kebutuhan keingintahuan, dan kebutuhan untuk dimengerti oleh sesama manusia, padahal dalam konteks perjalanan wisata, kebutuhan tersebut besar pengaruhnya terhadap keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata.
Keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh kuatnya faktor-faktor pendorong (push factor) dan faktor-faktor penarik (pull factor). Faktor pendorong dan penarik ini sesungguhnya merupakan faktor internal dan eksternal yang memotivasi wisatawan untuk mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan. Menurut Sharpley, 1994 dan Wahab, 1975 (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:52) menekankan,  bahwa faktor motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang wisatawan dan  pariwisata, karena motivasi merupakan pemicu  dari proses perjalanan wisata, walau motivasi ini acapkali tidak disadari secara penuh oleh wisatawan itu sendiri.

1).  Faktor Pendorong Berwisata

Faktor pendorong umumnya bersifat sosial-psikologis, atau merupakan person specific motivation, sedangkan faktor penarik merupakan destination specific attributes. Dengan adanya faktor pendorong, maka seseorang ingin melakukan perjalanan wisata, tapi belum jelas daerah mana yang akan dituju.  Ryan, 1993 (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:61), dari kajian literaturnya menemukan berbagai faktor pendorong bagi seseorang untuk melakukan perjalanan wisata seperti di bawah ini.
a)         Kejenuhan: ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
b)        Penyegaran: keinginan untuk penyegaran yang juga berhubungan dengan motivasi untuk escape di atas.
c)         Kegembiraan: ingin menikmati kegembiraan melalui berbagai permainan, yang merupakan pemunculan kembali dari sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri sejenak dari berbagai urusan yang serius.
d)        Kekerabatan: ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam konteks VFR (Visiting Friends and Relations).
e)         Prestise: untuk menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk menaikkan status dan derajat sosial.
f)         Interaksi sosial: untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat, atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.
g)        Romantika: keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan suasana romantis, untuk memenuhi kebutuhan seksual, khususnya dalam pariwisata seks.
h)        Kebudayaan: keinginan untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari orang lain atau daerah lain, atau kebudayaan etnis lain. Hal ini pendorong yang dominan dalam pariwisata.
i)          Pengalaman: keinginan untuk menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya bisa ditemukan pada saat kita menemukan daerah atau orang yang baru.
j)          Impian: keinginan untuk merealisasikan mimpi-mimpi, yang lama dicita-citakan, sampai mengorbankan diri dengan cara berhemat, agar bisa melakukan perjalanan.
Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan wisata dimotivasi oleh beberapa hal, motivasi-motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar sebagai berikut: (1)Physical or physiological motivation yaitu motivasi yang bersifat fisik antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya. (2) Cultural motivation yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian daerah lain. (3)Social or interpersonal motivation yaitu motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap mendatangkan gengsi (prestice), melakukan ziarah, pelarian dari situasi yang membosankan dan seterusnya. (4) Fantasy motivation yaitu adanya motivasi di daerah lain sesorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan dan yang memberikan kepuasan psikologis (McIntosh, 1977 dan Murphy, 1985; dalam Pitana dan Gayatri, 2005:60).
Pearce, 1998 (dalam Pitana dan Gayatri, 2005) berpendapat, wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata termotivasi oleh beberapa faktor yakni: Kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, prestise, dan aktualiasasi diri. Sedangkan Jackson, 1989 (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:62) melihat bahwa faktor penting yang menentukan permintaan pariwisata atau dorongan untuk berwisata berasal dari komponen daerah asal wisatawan antara lain, jumlah penduduk(population size), kemampuan finansial masyarakat (financial means), waktu senggang yang dimiliki (leisure time), sistem transportasi, dan sistem pemasaran pariwisata yang ada.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa faktor pendorong pariwisata dapat diprediksi dari jumlah penduduk dari suatu negara asal wisatawan, pendapatan perkapitanya, lamanya waktu senggang yang dimiliki yang berhubungan dengan musim di suatu negara, kemajuan teknologi informasi dan transportasi, sistem pemasaran yang berkembang, keamanan dunia, sosial dan politik serta aspek lain yang berhubungan dengan fisik dan non fisik wisatawan.

2)      Faktor Penarik Berwisata
Berbagai faktor penarik yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata akan menyebabkan wisatawan akan memilih daerah tujuan wisata tertentu untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Medlik, 1980  dan Jackson, 1989 (dalam Pitana dan Gayatri 2005:62), telah mengidentifikasikan berbagai faktor penarik dan membedakannya atas sebelas faktor, yaitu: (1) iklim destinasi, (2) promosi pariwisata, (3) iklan, (4) pemasaran, (5) kejadian khusus, (6) potongan harga, (7) mengunjungi teman, (8) mengunjungi kerabat, (9) daya tarik wisata, (10) budaya, (11) lingkungan alamiah dan buatan. Lebih lanjut, ditentukan ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut.
a)      Aspek daya tarik destinasi; merupakan atribut daerah tujuan wisata yang berupa apasaja yang dapat menarik  wisatawan dan setiap destinasi pasti memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya.
b)      Aspek transportasi atau sering disebut aksesibilitas; merupakan atribut akses bagi wisatawan domestik dan mancanegara agar dengan mudah dapat mencapai tujuan ke tempat wisata baik secara internatsional maupun akses terhadap tempat-tempat wisata pada sebuah destinasi.
c)      Aspek fasilitas utama dan pendukung; merupakan atribut amenitas yang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama pada sebuah destinasi.
d)     Aspek kelembagaan; atribut sumberdaya manusia, sistem, dan kelembagaannya berupa lembaga pariwisata yang akan mendukung sebuah destinasi layak untuk dikunjungi, aspek kelembagaan tersebut dapat berupa dukungan lembaga keamanan, lembaga pariwisata sebagai pengelola destinasi, dan lembaga pendukung lainnya yang dapat menciptakan kenyamanan wisatawan.
Selanjutnya Smith, 1988 (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:62) mengklasifikasikan berbagai barang dan jasa yang mestinya disediakan oleh destinasi pariwisata menjadi enam kelompok besar, yaitu: (1)transportation, (2)travel services, (3)accommodation, (4)food services, (5)activities and attractions (recreation culture/entertainment), dan (6) retail goods.
Inti dari ketiga pernyataan di atas adalah, aspek penawaran semestinya dapat menjelaskan apa yang akan ditawarkan, atraksinya apa saja, jenis transportasi yang dapat digunakan apa saja, fasilitas apa saja yang tersedia pada sebuah destinasi, siapa saja yang bisa dihubungi sebagai perantara pembelian paket wisata yang akan dibeli.

  1. 3.      METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksploratif-kualitatif, yaitu mengeksplorasi atau menggali potensi, dampak positif dan negatif, serta kemungkinan pengembangan kota sebagai daya tarik wisata Kota secara kualitatif. Pada akhirnya berdasarkan data dan informasi potensi, dampak positif dan negatif pengembangan, kemudian dianalisis menjadi keputusan  apakah memungkinkan dikembangkan kota sebagai daya tarik wisata Kota.  Lokasi penelitian adalah di wilayah Indonesia, di mana kemungkinan akan dikembangkan wisata kota seperti kota Denpasar, Amlapura, Malang, Surabaya, dan beberapa kota lainnya.
Penelitian ini bersifat eksploratif-kualitatif, sehingga dalam penelitian ini tidak berbicara tentang populasi dan besarnya sampel, karena penelitian ini tidak bermaksud melakukan jeneralisasi terhadap populasi. Oleh karena itu, penelitian ini hanya membutuhkan responden atau informan yang mampu memberikan jawaban atau informasi kualitatif tentang hal-hal yang berkaitan dengan potensi pengembangan museum budaya, dampak positif dan negatif pengembangan museum budaya, dan akhirnya kemungkinan pengembangan kota menjadi daya tarik wisata Surabaya. Jadi, responden atau informan dalam penelitian ini adalah stakeholder museum budaya, seperti beberapa pejabat, pengusaha, tokoh masyarakat dan pelaku pariwisata, yang dianggap kempeten memberikan informasi yang berkaitan dengan pengembangan museum dan budaya
Jenis data kualitatif yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok umumnya bersumber dari sumber primer yakni responden atau informan.  Jenisnya antara lain, opini atau pendapat pentingnya dibangun wisata kota, dampak positif dan negatif pembangunan wisata kota sebagai alternatif daya tarik wisata masa depan. Jenis data dan informasi kuantitatif  yaitu data berbentuk numerik atau angka-angka, yang lebih banyak bersumber dari sumber sekunder, yaitu dari instansi pemerintah kota.
Data penelitian ini bersumber dari sumber sekunder dan sumber primer. Sumber data sekunder adalah data yang bersumber dari pihak kedua, seperti Dinas Pariwisata Kota, Bappeda Kota, Sekretariat Kota, dan sebagainya. Data yang bersumber dari sumber sekunder melengkapi data yang diperoleh dari sumber primer.
Mengingat jenis penelitian adalah eksploratif-kualitatif, maka pengumpulan data penelitian menggunakan beberapa metode,yaitu: Observasi adalah metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan (observasi) atau melihat-lihat, yang mana dalam penelitian ini observasi dilakukan pada lokasi yang  dikembangkan menjadi wisata kota.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif-kualitatif, yaitu memberi interpretasi, makna dan pembahasan mendalam terhadap fakta dan informasi kualitatif yang dikumpulkan, sehingga  mampu menggambarkan atau mendeskripsikan fenomena penelitian dan menjawab tujuan penelitian.


  1. 4.      HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Kota Sebagai Atraksi Wisata
Pariwisata adalah salah satu mesin penggerak perekonomian dunia yang terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap kemakmuran sebuah negara. Pembangunan pariwisata mampu menggairahkan aktivitas bisnis untuk menghasilkan manfaat sosial. budaya, dan ekonomi yang signifikan bagi suatu negara. Ketika pariwisata direncanakan dengan baik, mestinya akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan pariwisata terlihat dari penerimaan pemerintah dari sektor pariwisata dapat mendorong sektor lainnya untuk berkembang. Keberhasilan yang paling mudah untuk diamati adalah bertambahnya jumlah kedatangan wisatawan dari periode ke periode. Pertambahan jumlah wisatawan dapat terwujud jika wisatawan yang telah berkunjung puas terhadap destinasi dengan berbagai atribut yang ditawarkan oleh pengelolanya. Wisatawan yang puas akan cenderung menjadi loyal untuk mengulang liburannya dimasa mendatang, dan memungkinkan mereka merekomen teman-teman, dan kerabatnya untuk berlibur ke tempat yang sama (Som dan Badarneh, 2011). Fenomena yang terjadi pada trend  pariwisata, khususnya di dunia saat ini adalah pesatnya pertumbuhan wisata kota.
Dari perspektif ekonomi, dampak positif pariwisata (kasus: pariwisata Bali-Indonesia) yaitu: (1) mendatangkan devisa bagi negara melalui penukaran mata uang asing di daerah tujuan wisata, (2) pasar potensial bagi produk barang dan jasa masyarakat setempat, (3) meningkatkan pendapatan masyarakat yang kegiatannya terkait langsung atau tidak langsung dengan jasa pariwisata, (4) memperluas penciptaan kesempatan kerja, baik pada sektor-sektor yang terkait langsung seperti perhotelan, restoran, agen  perjalanan, maupun pada sektor-sektor yang tidak terkait langsung seperti industri kerajinan, penyediaan produk-produk pertanian, atraksi budaya, bisnis eceran, jasa-jasa  lain dan sebagainya, (5) sumber pendapatan asli daerah (PAD), dan (6) merangsang kreaktivitas seniman, baik seniman pengrajin industri kecil maupun seniman ‘tabuh’ dan tayang diperuntukkan konsumsi wisatawan (Antara, 2011).
Jadi pariwisata di manapun, memang tak terbantahkan telah menimbulkan dampak positif (positive impact) bagi perekonomioan regional dan nasional, namun patut pula diakui bahwa pariwisata juga menimbulkan dampak negatif (negative impact), antara lain, menyusutnya lahan pertanian untuk pembangunan pendukung infrastruktur pariwisata, meningkatnya kriminalitas, kepadatan lalu lintas, urbanisasi dan  emigrasi, bermuculannya ruko-ruko, shopping centre  yang melanggar tataruang wilayah, degradasi lingkungan dan polusi. Dampak negatif yang disebutkan terakhir disebut eksternalitas, utamanya eksternalitas negatif (negative externality= external cost = external diseconomy), yaitu aktivitas kepariwisataan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, polusi air (sungai, laut dan sumur) dan tanah, sehingga menyebabkan kerugian sosial yang ditanggung oleh masyarakat di daerah tujuan wisata (Antara, 2009).
Sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan atau diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sesungguhnya sudah lebih menjamin cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi pluralitas, transparansi, akuntabilitas, dan berbasis pada kemampuan lokal. Hakekat otonomi daerah adalah kesempatan seluas-luasnya bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, tidak hanya mengandalkan dana  perimbangan pusat dan daerah, tetapi juga menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Namun, pemerintah setempat belum secara optimal menggali sumber-sumber pendapatan di daerahnya.
Sebagai contoh bahwa kota berpotensi menjadi daya tarik wisata dapat dilihat di beberapa kota di negara maju, seperti di Kota Sidney Australia dapat ditemukan bangunan tua dimanfaatkan menampung Pedagang Kaki Lima. Banyak bangunan gudang lama, direstorasi dan disulap menjadi mall PKL, termasuk di antaranya gudang dipelabuhan yang menjadi pusat kegiatan anak muda. Ada anggapan, jika belum melihat Sidney Sunday Market atau Sydney Harbour, rasanya belum ke Sidney. Bagaimana kalau Pemda Kota juga mencoba konsep pemecahan pedagang kaki lima (PKL) seperti ini, dari berbagai kemungkinan pemecahan yang kretif yang ada.  Kota biasanya punya banyak  memiliki gudang, seperti gudang militer, gudang Pabrik Kina, gudang PJKA, gudang tekstil, dan lain sebagainya. Kalau benar-benar ingin membantu memecahkan permasalahan kota, bangunan lama dapat dimanfaatkan dengan baik Selain itu, pemiliknya juga bisa memperoleh keuntungan, sambil mematuhi UU No. 5 tahun 1992 tentang pelestarian cagar budaya, selain turut berperan dalam memecahkan permasalahan kota.  Restorasi sebenarnya lebih murah dibandingkan membangun bangunan baru dan ciri sebuah kota sebagai kota industri kuno tidak hilang.
Selain pangan dan sandang, manusia juga memerlukan  ilmu pengetahuan yang lebih baik. Sumber ilmu pengetahuan masyarakat perlu ditingkatkan melalui museum dan galery, serta lembaga nonformal sejenis lainnya. Kecenderungan manusia mengetahui bahwa dengan bekal pendidikan yang lebih tinggi, kemampuan manusia dalam memperjuangkan nasib hidupnya akan lebih baik dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih rendah.
Orang yang pendidikannya lebih tinggi, orang akan lebih pandai bersaing dan lebih kreatif. Sedangkan, orang yang lebih rendah pendidikannya banyak yang sudah merasa cukup menerima nasibnya hidup di gubuk-gubuk serta meminta-minta dipinggir jalan. Pemerintah perlu segera menambah sarana kegiatan pendidikan nonformal. Museum dapat menjadi sumber inspirasi dan informasi tentang kreativitas budaya manusia dan kemampuan manusia dalam meningkatkan kualitas hidupnya di masa lalu. Contohnya, di beberapa kota di negara Eropa, museum telah menjadi sumber ilmu pengetahuan khususnya tentang sejarah, dan sekaligus dikomoditifikasi sebagai daya tarik wisata kota yang mengagumkan.
Kota Bandung masa lalu misalnya merupakan pusat Perusahaan Kereta Api di Indonesia; pusat perkantoran, pusat pendidikan, dan pusat perbengkelan Kereta Api di Pulau Jawa sejak abad 19. Namun sangat disayangkan, kota yang sangat bersejarah bagi perkereta-apian Indonesia ini belum juga memiliki Museum Kereta Api, padahal banyak bangunan yang merupakan aset PJKA yang sangat potensial dalam memberikan image Kota Bandung sebagai pusat perkereta-apian di Indonsia
Contoh lainnya, salah satu di antaranya yang sangat ideal untuk dijadikan Museum Kereta Api adalah Gedung Reparasi PJKA di jalan Pasirkaliki No 25 yang memiliki rel kereta api langsung masuk ke dalam gedung.  Pemerintah kota  semestinya memiliki rencana pengembangan permuseuman dengan memanfaatkan berbagai bangunan bersejarah tersebut, dalam rangka program pendidikan nonformal dan kegiatan kepurbakalaan, dan sekaligus menjadikannya sebagai daya tarik wisata kota.
Kota dan lingkungannya berkaitan erat dengan sejarah perkebunan teh, kopi, dan kina dengan produknya yang pernah berjaya memenuhi kebutuhan dunia dapat dikemas menjadi atraksi wisata. Bekas Pabrik Gas di sebuah kota dapat dimanfaatkan menjadi Museum Gas yang penting untuk menambah pengetahuan tentang sejarah proses produksi serta sistem jaringan penyaluran gas dari yang kuno sampai dengan LNG yang sangat modern saat ini, dan yang dapat memberikan pandangan bahwa ilmu dan teknologi itu telah menjadikan manusia hidupnya semakin baik.  Suatu aset sejarah budaya manusia yang juga dapat menjadi daya tarik wisata. Jika semua kekayaan kota-kota di Indonesia dikelola dengan bantuan Dinas Budaya dan Pariwista, akan sangat menarik dan berharga bagi generasi penerus.  Rakyat jadinya sadar akan ilmu pengetahuan, sejarah budaya, serta obyek wisata. Sebagai alternative tempat rekreasi, selain mall. Konsep pemikiran-pemikiran untuk menambah kegiatan pendidikan nonformal seperti ini, akan menjadi program pendidikan bangsa pada umumnya dan generasi muda khususnya.

4.2  Strategi Pengembangan Wisata Kota yang Berkelanjutan

Pariwisata apapun jenis dan namanya, hendaknya dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Menurut United Nation (2005) prinsip-prinsip tersebut adalah satu kesatuan prinsip yang harus dipahami dan dilaksanakan secara holistik agar pembangunan pariwisata dapat berkesinambungan termasuk untuk pengembangan kota sebagai daya tarik wisata ataupun pengembangan kota wisata. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
Prinsip pertama adalah pembangunan wisata kota mestinya dapat dibangun dengan melibatkan masyarakat lokal, mestinya visi pembangunan pariwisata dirancang berdasarkan ide masyarakat lokal  dan untuk kesejahteraan masyarakat lokal pula. Pengelolaan kepariwisataan yang telah dibangun mestinya juga melibatkan masyarakat lokal  sehingga masyarakat lokal  akan merasa memiliki “rasa memiliki” untuk perduli terhadap keberlanjutan pariwisata. Masyarakat lokal  harusnya menjadi pelaku bukan menjadi penonton.
Prinsip kedua adalah pembangunan wisata kota mestinya menciptakan keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan masyarakat.  Kepentingan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah tujuan yang didasarkan atas kerelaan untuk membentuk kualitas destinasi pariwisata yang diharapkan oleh wisatawan. Keseimbangan tersebut akan dapat terwujud jika semua pihak dapat bekerjasama dalam satu tujuan sebagai sebuah komunitas yang solid. Komunitas yang dimaksud adalah masyarakat lokal, pemerintah lokal, industri pariwisata, dan organisasi kemasyarakat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat di mana destinasi pariwisata dikembangkan.
Prinsip ketiga adalah pembangunan wisata kota mestinya melibatkan para pemangku kepentingan, dan melibatkan lebih banyak pihak akan mendapatkan input yang lebih baik. Pelibatan para pemangku kepentingan harus dapat menampung pendapat organisasi kemasyarakatan lokal, melibatkan kelompok masyarakat marginal atau miskin, melibatkan kaum perempuan, melibatkan asosiasi pariwisata, dan kelompok lainnya dalam masyarakat yang berpotensi mempengaruhi jalannya pembangunan dalam sebuah harmoni. Dalam sosiologi atau ilmu kemasyarakatan, terdapat beberapa kelompok berpengaruh dalam masyarakat, dan jika menghendaki pembangunan pariwisata  di suatu daerah bekelanjutan, mestinta semua kelompok dalam masyarakat dapat dilibatkan untuk menampung segala masukan dan saran-sarannya untuk pembangunan. Harus disadari, setiap saat, bahwa kelompok berpengaruh dalam masyarakat dapat bertambah atau berkurang jumlahnya seiring dengan berkembangnya kebebasan berdemokrasi dan mestinya harus  ada reevaluasi secara reguler terhadap jalannya pembangunan pariwisata. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan adalah  kondisi yang diinginkan dan mungkin menjadi elemen yang paling penting dari sebuah ideal program pembangunan. Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk menggabungkan pandangan berbeda adalah penting untuk keberhasilan pembangunan yang menyesuaikan kepentingan masyarakat dan wisatawan secara bersama-sama. Masing-masing kelompok masyarakat memiliki kebutuhan yang sangat berbeda dalam hal fasilitas perumahan dan pelayanan.
Prinsip keempat adalah, pembangunan wisata kota mestinya memberikan kemudahan kepada para pengusaha lokal  dalam sekala kecil, dan menengah. Program pendidikan yang berhubungan dengan kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal  dan industri yang berkembang pada wilayah tersebut harus mampu menampung para pekerja lokal  sebanyak mungkin.
Prinsip kelima adalah, pembangunan wisata kota mestinya  dikondisikan untuk tujuan membangkitkan bisnis lainnya “multiflier efek” baik secara langsung maupun tidak langsung dalam masyarakat artinya pariwisata harus memberikan dampak pengganda pada sektor lainnya, baik usaha baru maupun usaha yang telah berkembang saat ini.
Prinsip keenam adalah pembangunan wisata kota mestinya adanya kerjasama antara masyarakat lokal  sebagai kreator atraksi  wisata dengan para operator penjual paket wisata, sehingga perlu dibangun hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Misalnya, berkembangnya sanggar tari, kelompok tani, dan lainnya karena mendapatkan keuntungan dari berkembangnya sektor pariwisata. Sementara para operator sangat berkepentingan terhadap eksistensi dan keberlanjutan atraksi wisata pada wilayah pariwisata. Idealnya harus ada keseimbangan permintaan dan penawaran yang berujung pada kepuasan wisatawan, namun demekian dalam praktiknya akan ada perbedaan mendasar antara masyarakat lokal dan wisatawan sehubungan dengan perbedaan perbedaan sikap terhadap pembangunan itu sendiri).  Penelitian terhadap perilaku wisatawan  akan dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi perbedaan tersebut dengan melakukan wawancara dengan para wisatawan untuk memahami mengapa mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah destinasi, seberapa baik harapan mereka terpenuhi dan apa yang dapat dilakukan untuk membuat mereka tetap lebih terpuaskan. Menjaga keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan orang-orang dari semua masyarakat sangatlah penting untuk diketahui. Seperti banyak penduduk kota wisata memilih untuk tinggal di sana karena gaya hidup yang dirasakan dan faktor kemudahan, program yang dirancang untuk memfasilitasi penggunaan fasilitas, dan layanan yang dapat digunakan untuk mengurangi gesekan antara warga dan pengunjung.
Prinsip ketujuh adalah, pembangunan wisata kota mestinya mampu menjamin keberlanjutan, memberikan keuntungan bagi masyarakat saat ini dan tidak merugikan generasi yang akan datang. Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata berpotensi merusak lingkungan jika dihubungkan dengan  peningkatan jumlah wisatawan dan degradasi daerah tujuan pariwisata adalah sesuatu yang logis jika tidak dapat kelola dengan baik.
Prinsip kedelapan adalah pembangunan wisata kota mestinya bertumbuh dalam prinsip optimalisasi bukan pada exploitasi. Konsep ini merupakan kebutuhan yang semestinya diakui untuk menjadi kendali atas dimensi-dimensi pembangunan pariwisata yang dapat mengancam berkelanjutan penggunaan sumber daya yang terbatas,  pada saat yang bersamaan, konsep tersebut berhadapan dengan keinginan untuk mengoptimalkan peluang sebagai tujuan pembangunan dan mewujudkan manfaat potensial yang terkait dengan wisatawan yang semakin meningkat.
Prinsip kesembilan adalah pembangunan wisata kota mestinya ada monitoring dan evaluasi secara periodik untuk memastikan pembangunan pariwisata tetap berjalan dalam konsep pembagunan berkelanjutan. Mestinya pembagunan pariwisata dapat diletakkan pada prinsip pengelolaan dengan manajemen kapasitas, baik kapasitas wilayah, kapasitas obyek wisata tertentu, kapasitas ekonomi, kapasitas sosial, dan kapasitas sumberdaya yang lainnya sehingga dengan penerapan manajemen kapasitas dapat memperpanjang daur hidup pariwisata itu sendiri sehingga konsepsi konservasi dan preservasi serta komoditikasi untuk kepentingan ekonomi dapat berjalan bersama-sama dan pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diwujudkan.
Prinsip kesepuluh adalah pembangunan wisata kota mestinya dalam keterbukaan terhadap penggunaan sumber daya seperti penggunaan air bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan dengan semestinya.
Prinsip kesebelas adalah pembangunan wisata kota mestinya melakukan program peningkatan sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang keahlian pariwisata sehingga dapat dipastikan bahwa para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya masing-masing sehingga program sertifikasi akan menjadi pilihan yang tepat. Sertifikasi sebagai proses untuk meningkatkan standar industri memiliki pendukung dan dan nilai kritik di bawah lima aspek: keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas, dan integrasi.
Prinsip keduabelas adalah pembangunan wisata kota mestinya terwujudnya tiga kualitas yakni pariwisata harus mampu mewujudkan kualitas hidup ”quality of life” masyarakat lokal, pada sisi yang lainnya pariwisata harus mampu memberikan kualitas berusaha ”quality of opportunity” kepada para penyedia jasa dalam industri pariwisata dan sisi berikutnya dan menjadi yang terpenting adalah terciptanya kualitas pengalaman wisatawan ”quality of experience”.
Sampai pada sebuah kesimpulan bahwa, pembangunan wisata kota mestinya akan dapat berkesinambungan jika dibangun dan dikembangkan pada prinsip-prinsip dasar pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, apapun bentuk dan namanya, di manapun dan kapanpun dikembangkan, dan siapapun yang mengembangkannya.
Menurut Ardika (Kompas, Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan tumbuh karena perbedaan, keunikan, kelokalan baik itu yang berupa bentang alam, flora, fauna maupun yang berupa kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan budhi manusia. Tanpa perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada orang yang melakukan perjalanan atau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan alam dan budaya serta menjunjung kebhinekaan adalah fungsi utama kepariwisataan. Alam dan budaya dengan segala keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga kelestariannya. Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang pulalah kepariwisataan itu.
Dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan Indonesia didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep prikehidupan yang berkeseimbangan. Seimbangnya hubungan manusia dengan Tuhan, seimbangnya hubungan manusia dengan sesamanya, seimbangnya hubungan manusia dengan lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan kepada kita untuk menjunjung nilai-nilai luhur agama serta mampu mengaktualisasikannya, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, toleran, kesetaraan, kebersamaan, persaudaraan, memelihara lingkungan alam. Kesadaran untuk menyeimbangkan kebutuhan materi dan rokhani, seimbangnya pemanfaatan sumber daya dan pelestarian.
Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia dengan segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan demikian kepariwisataan Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat (community based tourism) dan berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan yang dibangun dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

  1. KESIMPULAN
Mengembangkan pariwisata di perkotaan adalah usaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak hotel dan restoran (PHR), dan sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi di perkotaan. Pengembangan pariwisata apapun jenis dan namanya memerlukan fungsi pengelolaan yang kreatif dan inovatif berdasarkan atas perencanaan yang matang, pelaksanaan yang konsisten, dan evaluasi yang terukur dan konstruktif. Berdasarkan konseptual tersebut, maka akan lebih baik untuk dilakukan pre-researh untuk menggali potensi yang senyatanya terhadap pengembangan kota sebagai wisata kota yang berhasil. Pre-researh diharapkan dapat merumuskan program dan objektif yang dapat dicapai serta dapat dioperasionaliasikan berdasarkan project life cycle yang semestinya. Project life cycle yang baik adalah project yang melewati fase-fase evaluasi yang terukur untuk menghindari kegagalan yang tidak diharapkan.
Pembangunan wisata kota adalah pembangunan yang terintegrasi dan holistik yang akan mewujudkan kepuasan semua pihak. Perlunya integrasi aspek-aspek terkait yang terdiri dari: (1)Aspek daya tarik destinasi; merupakan atribut daerah tujuan wisata yang berupa apasaja yang dapat menarik  wisatawan dan setiap destinasi pasti memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya. Hal ini penegasan dari bagian Atribut Kota Wisata. (2)         Aspek transportasi atau sering disebut aksesibilitas; merupakan atribut akses bagi wisatawan domestik dan mancanegara agar dengan mudah dapat mencapai tujuan ke tempat wisata baik secara internatsional maupun akses terhadap tempat-tempat wisata pada sebuah destinasi. (3) Aspek fasilitas utama dan pendukung; merupakan atribut amenitas yang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama pada sebuah destinasi. (4)Aspek kelembagaan; atribut sumberdaya manusia, sistem, dan kelembagaannya berupa lembaga pariwisata yang akan mendukung sebuah destinasi layak untuk dikunjungi, aspek kelembagaan tersebut dapat berupa dukungan lembaga keamanan, lembaga pariwisata sebagai pengelola destinasi, dan lembaga pendukung lainnya yang dapat menciptakan kenyamanan wisatawan.
Kota sebagai pusat bisnis merupakan centrum dari akvitas malam para wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sehingga perlu pengelolaan dan penataan. (1) Penataan Sentra bisnis masyarakat lokal yang mestinya dapat digalakkan adalah sebagai berikut: Pasar Malam tradisional yang menjual segala bentuk cinderamata khas sebuah kota, makanan tradisional, pagelaran seni tari tradisional, Spa terapi, fisioterapi untuk penghilang lelah para wisatawan sehabis tour. (2) Penataan penginapan, hotel, dan sejenisnya mestinya dapat diarahkan pada pada area sub urban atau pinggiran kota untuk mengurangi kekroditan kota. (3) Penataan daerah atraksi wisata baik yang given/alamiah maupun man-made/buatan dapat diarahkan pada kawasan rural atau countryside.

  1. 6.      DAFTAR PUSTAKA
Anonim ( 2005). Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid.
Anonim. 2001). Visitor Profile Report 2001. Hong Kong Tourism Board.
Antara, M,  Pitana, G. (2009). Tourism Labour Market in the Asia Pacific Region: The Case of Indonesia. Paper Presented at the Fifth UNWTO International Conference on Tourism Statistics: Tourism an Engine for Employment Creation. Held in Bali, Indonesia, 30 March – 2 April 2009.
Antara, M.  (2009). Pengembangan Museum Budaya Terpadu Sebagai Daya Tarik Wisata Kota Surabaya. Makalah tidak dipublikasikan.
Ap, J., Mak, B. (1999). Balancing Cultural Heritage, Conservation and Tourism Development in a Sustainable Manner. Paper presented at the International Conference: Heritage and Tourism, 13th–15th December, Hong Kong.
Ardika, I W. (2003). Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Refleksi dan   Harapan di Tengah Perkembangan Global. Program Studi Magister (S2): (Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana)
Ashworrth, G,  Tunbridge. (2000). In contemporary society, heritage is often treated as a commodity for economic uses, especially for tourism
Gunn, C. (1998). Tourism planning (3rd ed.). New York: Taylor and Francis.
Hewison. (1988). The tourism product or as a ‘commodity: Culture has become a commodity
Kotler P., Keller K. (2006). Marketing Management, 12th Edition, Pearson Education Inc, New Jersey.
Kotler, P.,  Gary A. (1999). Principle of Marketing. 8th Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Lowenthal, D. (1996). The Heritage Crusade and the Spoils of History. The Free Press, New York.
Nawir, (2008). Studi Islam, Bandung: Cipustaka Media Perintis. Syahrial
Pitana, I G., Gayatri, PG. (2005). Sosiologi Pariwisata. Penerbit Andi Yogyakarta.
Reynolds, P. (1999). Design of the Process and Product Interface. In A. Leask & I. Yeoman (eds), Heritage Visitor Attractions (pp. 110–126) Cassell, New York.
Shackley, M. (2001). Managing Sacred Sites. Continuum, London.
Som, AP., Badarneh , MB. (2011). Tourist Satisfaction and Repeat Visitation; Toward a New Comprehensive Model. International Journal of Human and Social Sciences 6:1 2011
Timothy, D. J. (1997). Tourism and the Personal Heritage Experience. Annals of Tourism Research, 24(3), 751–754.
Wacik, J. (2010). Kata Sambutan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Program Tahun Kunjung Museum 2010. Dalam Google: Museum dan Kebudayaan.

Komentar

  1. RNG slot machine machines that pay for free with no deposit
    What are 광명 출장안마 the best casinos for RNG slots? CasinoRNG is a 정읍 출장안마 popular casino site which offers 익산 출장마사지 a wide variety of casino 의정부 출장마사지 games to players from around 보령 출장마사지 the world.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wisata Brayeun Aceh Besar

Camera movment